We are afraid of the future.
We are afraid of the unknown.
We are afraid of the unknown fundamental laws of nature.
We are afraid of something that we don’t know how to define with words.
We want to control.
But even if this was an abbreviated world we could do very little to control this life.
We have no control.
We fear the unknown and we fear things coming to an inevitable end that is beyond our control.
What can humanity do but hum hymns of the unknown?
And now we’re chasing the unknown before its inevitability chases us.
We choose to appreciate it. We name it.
We name it as a reminder, but we’re too afraid to define what it is..
Because we don’t want it to be less real than we want it to be.
The fear of the unknown created an appreciation of it.
A false but hopeful facade.
puisi
MAAF, KARENA AKU MENGADA
Tangan bayi mengepal karna marah pada tuhan,
Dan tangisnya menyiratkan penyesalan karna telah lahir dan tidak diberi pilihan.
Seperti kita yang marah pada waktu yang mempersempit jangkauan,
Kita juga menyesal pada jarak yang memperberat langkahan.
Katanya tuhan hanya sejauh doa, berarti tuhan tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya fabrikasi akal kita.
Katanya waktu nyata karna kita tercelup dalam ruang, berarti mekanistik berupa waktu hanya konstruksi dari pikiran semata.
Saat sadar bahwa variabel sebenarnya saling terikat, kebebasan kita cuma jadi ilusi belaka.
Dan saat tidak ada lagi kambing hitam pemberi berkat, kita cuma bisa minta maaf karena telah mengada.